Jacque Derrida (1930-2004), dalam filsafat Dekonstruksi-nya, pernah mengatakan bahwa tidak ada makna yang stabil dalam setiap teks. Teks hadir dalam modenya sendiri, terpisah, bahkan -dalam pandangan ekstrem- dengan penulisnya sendiri.
Pada prinsipnya, manusia membangun hubungan formasi makna secara spontan terhadap lingkungan sekitarnya. Ini lahiriah adanya. Tidak heran jika banyak secara spontan membangun tafsir pada fenomena. Sayangnya kadang mengeliminasi nomena, yang berujung pada nilai subjektif. Pun pada sebuah teks (berita media), kita banyak menerapkan konsep yang sama.
Tulisan ini mengerucut pada beberapa status yang berseliweran di media sosial maupun tulisan (teks) berita dan opini yang terbit dalam portal-portal berita lokal-nasional, online maupun cetak, terkait dengan kejadian teror beruntun beberapa hari belakangan ini.
Secara spontan, peristiwa-peristiwa itu membuat masyarakat kita begitu gaduh, riuh, takut, panik, dan resah di mana-mana. Kita seperti pesawat yang kehilangan kendali kemudi, melesat cepat tak tentu arah. Sabar!
Terorisme dan Konspirasi
Begini, tindakan atau reaksi berlebihan pada terorisme itu justru merupakan ancaman yang lebih berbahaya ketimbang para teroris itu sendiri. Sebab itulah tujuan awal konspirasinya, membangun rasa takut, panik, gaduh dan candu.
Esensi terorisme adalah pertunjukan. Pertunjukannya untuk “dinikmati” khalayak. Itu mengapa momennya beruntun, tersistematis, bahkan sampai pada tataran masif. Upayanya adalah membangun opini publik.
Membangun opini publik; bahwa kita memiliki semua pemikiran, berdiri pada sisi yang sama dan bersama adalah konsep yang pernah diterapkan Amerika dalam sebuah konspirasi melawan para “pandir” demokrasi Uni Soviet. Gambaran sederhananya, setiap entitas yang mencoba mempertanyakan makna demokrasi, dibuat seolah menjadi musuh bersama yang harus ditumpas segera.
Konsep yang sama juga diterapkan dalam strategi militernya, bahwa menumpas gerakan radikalime (terorisme) di Timur Tengah adalah upaya untuk menyelamatkan dunia, tindakan heroik nan filantropi. Setidaknya begitulah pemikiran (bersama) sebagian masyarakat dunia. Alhasil, tindakan itu diaminkan oleh banyak pihak.
Kita tergiring untuk bersepakat, memiliki musuh bersama yang harus dimusnahkan segera. Efeknya, tidak jarang kita mendahulukan ‘naluri’ ini lalu berakhir mengenyampingkan analisis logik. Subjektiflah kita. Tidak mencerahkan suasana, malah semakin besarlah rasa takut, panik, gaduh, dan candu itu. Sampai di sini, mode penolakan relevan untuk ada.
Menolak, bukan menolak untuk mengatakan terorisme adalah musuh bersama, bukan. Bagaimanapun, tidak ada kalimat yang bisa mengilustrasikan kebiadaban tindakan terorisme, tetapi menolak untuk ikut larut dalam kepanikan dan kegaduhan yang ditimbulkannya. Ini penting bagi kita guna menemukan solusi baik dan menentukan keputusan-keputusan yang akan diterapkan.
Bagaimanapun juga, kehidupan bernegara harus tetap berlanjut, masih banyak persoalan yang harus diselesaikan. Bisa jadi, radikalisme lahir dan tumbuh subur dari lebarnya gapatau ketimpangan kehidupan sosial yang gagal dievaluasi oleh negara. Bisa jadi, siapa tahu.
Terorisme dan Media
Pun dalam kebiasaan kita mengonsumsi informasi yang dihadirkan oleh media. “Barang” yang satu ini memang memiliki andil yang sangat strategis dalam kehidupan sebuah negara demokrasi. Apalagi di era milenial-digitalis seperti sekarang ini.
Kebebasan akses informasi yang menisbahkan sekat ruang dan waktu secara tidak langsung ikut memengaruhi pola interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat. Tidak hanya dalam interaksi dunia maya, hal ini juga ikut memengaruhi pola interaksi sosial dalam dunia nyata.
Tak jarang saya menemukan dialektika yang tidak sehat bermula hanya dari sebuah judul “norak” berita. Belum lagi jika kontennya berisi bualan para tokoh-tokoh bangsa yang kontrover-sial. Kadang “Cover both side is death” bro/sist. Keberimbangan telah mati.
Seyogianya media hadir sebagai pembanding. Mereduksi kepanikan dan kegaduhan yang ditimbulkan dengan cara menghadirkan informasi yang akurat dan berbobot. Atau setidak-tidaknya tidak menggunakan kalimat provokatif, baik pada judul berita maupun konten dalam opini-opininya.
Mitdasein ala Martin Heidegger
Seyogianya opini publik yang terbangun dapat dimanifestasikan dalam bentuk lain. Paradigma ini dapat diterapkan dengan baik dalam konsep Mitdasein ala Martin Heidegger (1989-1976), hadir bersama dalam keadaan bermakna. Fenomena dihayati bersama secara mendalam untuk membuat terang persoalan. Menganalisa dan menemukan solusi sampai ke pangkal persoalan. Bukan malah larut dalam kegaduhan yang ditimbulkannya.
Jika diperhatikan, Cyber War yang belakangan marak terjadi hanya berisi konten suku, ras, dan agama. Interaksi ini kadang juga termanisfestasi, lanjut terekspresi keluar, sehingga (berpotensi) mengakibatkan pertentangan bahkan perang. Miris, kan!? Semoga saja tidak terjadi.
Sekali lagi, kehidupan bernegara harus tetap berlanjut. Ada banyak persoalan lain yang menanti ke depannya.Berhenti saling “menggaruk” tanpa menyisahkan ruang toleransi untuk berempati, apalagi simpatik. Mari hadir bersama dalam keadaan bermakna. Mitdasein.
from MUSLIM SEJATI https://ift.tt/2zbyUh8
via Muslim Sejati
0 coment�rios: