Wacana pengusung khilafah menyebut demokrasi yang kini tengah diperjuangkan dan dianut sebagai sistem Pemerintahan di Indonesia sebagai sistem pemerintahan yang haram dan salah, dan yang benar, tentu saja: khilafah. Beberapa pertanyaan yang dapat kita ajukan adalah, jika katanya Khalifah (pemimpin dari sistem khilafah) tidak ditunjuk oleh Allah, tetapi dipilih oleh kaum Muslim, dan memperoleh kekuasaannya melalui akad bai’at, lalu bagaimana nasib manusia-manusia yang lain di negeri ini?
Indonesia, sebagaimana kita ketahui adalah Negara yang tidak hanya memiliki keragaman Sumber Daya Alam, namun juga Sumber Daya Manusia yang terdiri dari keragaman Suku, Agama dan RAS. Dalam sistem demokrasi Pancasila, hak tiap-tiap warga Negara, tak peduli apapun latar belakangnya, diakui dan bersifat setara.
Kebudayaan, yang menjadi warna sebuah peradaban manapun di dunia, selalu mengikuti dan menghormati proses. Sejarah kebudayaan adalah sejarah panjang yang sangat tua dan kompleks. Nabi Muhamad, dalam piagam Madinah tidak pernah menyelenggarakan kekhilafahan, namun menjamin hak yang adil bagi setiap manusia, pun berdasar situasi budaya yang eksis pada zamannya.
Kedua, bahwa sebagaimana termaktub dalam laman http:www.hizbut-tahrir.or.id, pengusung wacana Khilafah tidak mengakui Khilafah sebagai sistem teokrasi.
Menurut para pengusungnya, konstitusi pada Negara Khilafah yang mereka cita-citakan itu nantinya tidak terbatas pada masalah religi dan moral sehingga mengabaikan masalah-masalah sosial, ekonomi, kebijakan luar negeri dan peradilan. Khilafah, katanya, juga menginginkan kemajuan ekonomi, penghapusan kemiskinan, dan peningkatan standar hidup masyarakat.
Lha, kalau begitu, bukankah sudah sama persis dengan Negara Indonesia yang sudah jadi? Di Negeri ini, hak-hak kaum beragama telah dijamin dalam Pasal 29 UUD 1945. Negara memfasilitasi hal tersebut lewat Kementerian Agama bahkan berbagai organisasi kemasyarakatan yang gerakannya dilindungi.
Di saat sistem sudah jadi, apakah kita diajak kembali bermimpi? Pantas saja Pemerintah berhasrat membubarkan organisasi HTI sebagai agen pengusung khilafah dengan tuduhan sebagai organisasi yang kontra-produktif alias tidak memberikan kontribusi bagi pembangunan.
Retorika HTI itu bisa disebut sebagai langkah “strategic ambiguity”. Di satu sisi, HTI tidak menyatakan secara eksplisit dan terang-terangan ingin mengganti Pancasila, tetapi di sisi lain ia terus menyuarakan wacana anti-sistem demokrasi secara radikal lewat berbagai aksi yang mereka gelar secara rutin.
Sudah jamak kita ketahui, bahwa dalam aksi-aksi itu pula mereka kerap meremehkan simbol-simbol Negara, seperti lebih menegakkan bendera organisasi dibanding bendera merah putih, dan poster-poster seruan makar dari negara Pancasila.
Buku Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia (2009) menyatakan, “Hizbut Tahrir juga menentang dengan keras konsep-konsep yang lahir dari paham Sekularisme seperti Demokrasi, Patriotisme, Sosialisme dan Kapitalisme atau isme-isme lain.”
Abdul Qadim Zallum (1924-2003), pemimpin generasi kedua Hizbut Tahrir setelah pendirinya Taqiyuddin al-Nabhani (1909-1977), menulis buku berjudul Demokrasi Sistem Kufur (Ad-Dimuqrathiyyah Nizham Kufr) yang kemudian disebarluaskan sebagai bacaan pokok kaderisasi. Buku ini tidak hanya menyerang demokrasi tetapi juga menuduh nasionalisme sebagai strategi jahat orang-orang kafir untuk memecah belah dunia Islam.
Pada zamannya, Akibat lain dari ide khilafah ialah munculnya pemaksaan tafsir dari mazhab atau aliran tertentu jika mazhab itu memegang kekuasaan. Hal itu semacam gabungan dari will to truth yang bergabung dengan will to power. Syariat yang harusnya dipahami sebagai metode, akhirnya direduksi hanya sebagai hukum formal yang dimanfaatkan untuk menindas golongan lain.
Sedangkan, Indonesia sekarang ini sudah jauh lebih Islam(i) dan syar’i secara sistem daripada konsep khilafah itu. Yang paling penting dari syariah adalah substansinya, yakni keadilan (yang disebut al-Quran sebagai “dekat kepada takwa”; aqrabu lit-taqwa). Perihal keadilan ini sudah sejak kelahirannya dipikirkan betul oleh para pendiri bangsa dengan bersepakat menghapus narasi sila pertama pada piagam Jakarta.
Teks awal yang berbunyi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” akhirnya diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa sebab terjadi pertentangan antar golongan yang menganggap kalimat itu memuat nilai pemaksaan kehendak satu golongan. Jelas sudah, bahwa sikap legawa para pemimpin Islam ketika itu untuk mengambil jalan tengah sesungguhnya menunjukkan sikap kesatria sekaligus pengambilan tafsir terbaik atas nama keadilan.
Berdasar latar belakang sejarah ini, hendaknya umat Muslim Indonesia yang telah terindoktrinasi wacana khilafah tidak lagi takut soal dosa atau alasan hukum agama. Sekali lagi, pendirian khilafah tidak berkaitan dengan otoritas kebenaran hukum Islam. Dan, pendirian Negara Islam sama sekali tidak sama dengan Islam itu sendiri.
from MUSLIM SEJATI https://ift.tt/2Qi6Y2w
via Muslim Sejati
0 coment�rios: