Dalil sendiri, seperti yang disebutkan dalam kitab al-Luma’ karya Imam Syairazi, maknanya adalah petunjuk menuju sesuatu yang diinginkan.
Di ushul fiqh, maksud dari dalil itu adalah petunjuk untuk mengetahui ketentuan hukum fikih. Para ulama memberikan urutan-urutan terkait petunjuk tadi, bermula dari Alquran, lalu sunnah, lalu ijma’, lalu qiyas. Empat dalil tadi sudah menjadi “kesepakatan” para ulama ushul. Setelah ini, Imam Syairazi meletakkan istishab dan kiai bagi orang awam.
Terkait kiai yang dijadikan dalil bagi orang awam, ternyata tidak hanya terdapat dalam kitab al-Luma’. Sebelumnya Imam Haramain dalam kitab Waraqat juga menyebutkan yang sama. Bahkan Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyah pun menyatakan bahwa dalilnya orang awam itu adalah kiainya.
Mengapa demikian? Karena orang awam tidak tahu apa itu dalil. Bagi mereka, yang terpenting dapat menjalankan perintah Allah dan rasul-Nya. Jika mereka diberi dalil, mereka malah akan bingung. Apalagi dalil itu bukan sekadar Alquran dan sunnah saja. Dalil sendiri macam-macamnya sangat banyak. Inti dari dalil adalah petunjuk kepada ketentuan hukum itu.
Dalil sendiri sifatnya mentah. Ia belum bisa dijadikan sebagai petunjuk terhadap suatu ketentuan hukum fikih. Ia masih membutuhkan sistem istidlal.
Istidlal ini tidak hanya berlaku pada dalil nas yang bermula dari Alquran dan sunnah, namun juga ijma’, qiyas, dan berbagai dalil yang mukhtalaf fiqh. Sistem istidlal ini juga tidak dipahami oleh orang awam. Jika dalil saja belum tahu, apalagi sistem istidlal. Jika kita sodorkan dalil dan sistem istidlal dari dalil tadi, orang awam akan tambah pusing. Bukannya akan semakin rajin mengaji, mereka bisa-bisa malah melarikan diri.
Pernah suatu kali Syaih Ali Jumah ditanya tentang suatu persoalan. Lalu ada orang awam yang bertanya tentang dalilnya. Syaih Ali Jumah tidak menyebutkan dalil panjang lebar dari ayat Alquran, sunah nabi, atau deretan dalil dan sistem istidlal lainnya. Beliau hanya membuka kopiyah Azharnya lalu menunjuk kepada kopiyah tadi, dan berkata, “Inilah dalilnya.”
Para hadirin tertawa. Syaih diminta memberikan dalil, mengapa malah membuat lelucon dengan melepas kopiyah Azhar dan mengatakan sebagai dalil? Namun Ali Jumah tidak tertawa. Ia serius menunjukkan kopiyah Azhar itu. Lalu beliau menerangkan bahwa kopiyah Azhar ini merupakan simbol dari para ulama Azhar. Jika seorang ulama sudah berfatwa, maka ia telah dianggap sebagai dalil. Ulama adalah dalilnya bagi awam.
Menerangkan hukum kepada masyarakat awam memang harus pelan-pelan sekali dan yang praktis-praktis. Mereka sama sekali tidak butuh dalil. Mereka tidak paham apa yang dinamakan dalil. Mereka hanya nurut hukum sesuai perkataan kiainya.
Para ulama terdahulu, seperti Imam Haramain, Imam Ibnu Taimiyah, Ibnul Hazm, Imam Syairazi, dan ulama ushul lainya sangat tepat ketika menempatkan kiai sebagai dalil bagi orang awam. Ya, karena mereka ini memang tidak mempunyai kemampuan. Jika mereka dipaksa harus tahu dalil, tentu memberatkan bagi mereka. Padahal agama Islam ini mudah dan tidak memberikan beban melebihi kemampuan hamba.
Terkait dalil ini, pendapat para ulama berikut bisa kita renungkan bersama:
- Iz Ibnu Abdussalam dalam kita Qawaaidul Ahkam berkata, “Tugasnya orang awam ya taqlid, karena ia tidak mampu untuk mengetahui hukum syariat dengan cara berijtihad.”
- Ibnu Taimiyah dalam kitab al-Muswaddah berkata, “Secara umum, berijtihad hukumnya boleh, sebagaimana bertaqlid juga hukumnya boleh. Bagi yang sanggup berijtihad, boleh dia berijtihad, sementara bagi yang tidak bisa berijtihad, boleh baginya untuk taqlid saja.”
- Imam Syathibi dalam kitab al-I’tisham berkata, “Jika seseorang muqallid sama sekali tidak mempunyai ilmu, maka ia harus punya pegangan orang alim (kiai) yang bisa dijadikan contoh teladan”. Imam Syathibi, dalam kitab Muwafawatnya juga berkata, “Fatwanya seorang mujtahid itu, dalilnya orang awam.”
Kesimpulannya bahwa manusia mempunyai kemampuan yang beragam. Untuk orang awam, cukuplah fatwa kiainya menjadi dalil. Awam pun ada tingkatannya. Jika ia tidak terlalu awam, bolehlah ia diberi dalil baik dari Alquran, sunnah, ijma’, qiyas, dan lain sebagainya. Jika ia sudah mengetahui seluk-beluk hukum, bolehlah kita berikan dalil dan juga sistem istidlal atas suatu perkara.
Jadi, jangan paksa orang awam untuk mengetahui sebuah dalil karena hanya akan membuat bingung mereka. Jangan pernah di antara kita yang mencela orang awam yang taklid kepada kiainya. Taklid mereka karena sesuai dengan kemampuannya. Jangan paksa setiap orang untuk mampu berijtihad. Mereka yang belum mampu ijtihad lalu berijtihad bisa merusak hukum syariat.
from MUSLIM SEJATI https://ift.tt/2B5vXAJ
via Muslim Sejati
0 coment�rios: